Home »
INTERNASIONAL
» "Penolakan Mengakui Kudeta di Mesir dan Dampaknya Bagi Kebijakan Luar Negeri AS"
"Penolakan Mengakui Kudeta di Mesir dan Dampaknya Bagi Kebijakan Luar Negeri AS"
Written By pksrancaekek on Jumat, 26 Juli 2013 | 07.09
Oleh John L. Esposito
Guru besar masalah agama dan internasional, Universitas Georgetown
dan presiden Akademi Agama Amerika.
***
Sikap tidak mau menerima kenyataan biasanya berakhir buruk, dan kegagalan mengakui telah terjadi kudeta militer di Mesir bisa berdampak buruk bagi Mesir dan para pembuat kebijakan Barat.
Amerika Serikat diminta tegas mengakui bahwa pencopotan Morsi dan pengangkatan militer sebagai pemimpin Mesir jelas adalah kudeta. Situasi di Mesir saat ini bila tidak dikelola dengan baik, oleh militer dan pemerintah sementara, bisa membuat negara tersebut mengalami kemunduran selama setidaknya satu generasi, yang pada tataran praktis menambah panjang usia rezim otoriter di Mesir modern menjadi 60 tahun. Pada saat yang sama, ini akan memicu sentimen anti-Barat yang pada akhirnya dapat berubah menjadi ancaman keamanan yang besar.
Reputasi AS dan Eropa dibangun dari dukungan mereka terhadap prinsip, nilai, dan komitmen demokrasi dan hak asasi manusia. Sejauh ini mereka gagal. Sama halnya dengan kegagalan yang telah mereka tunjukkan dalam beberapa dekade terakhir dengan mendukung rezim otoriter di Mesir, Tunisia, Amerika Latin, dan beberapa kawasan lain di dunia. AS dan Uni Eropa (UE) harus bertindak sekarang untuk menepis persepsi bahwa AS tahu sejak awal akan ada kudeta dan mendukung kudeta militer ini.
Komitmen terhadap proses demokrasi dilemahkan oleh keengganan AS dan pihak-pihak lain untuk menyebut apa yang terjadi di Mesir sebagai kudeta militer. Padahal menumbangkan pemerintah yang sah terpilih melalui pemilu dan menggantinya dengan pejabat tunjukan militer jelas adalah kudeta. Prinsip dasar demokrasi adalah komitmen melakukan proses demokrasi dan menerima keberadaan oposisi yang loyal. Kalau tidak puas, satu-satunya cara sah untuk mengganti pemerintah adalah melalui kartu suara. Oposisi bisa menentang, mengecam, bahkan mencaci-maki petahana (incumbents), tentunya melaui mekanisme yang dibolehkan undang-undang, namun oposisi tetap harus loyal kepada negara dan proses demokrasi. Kalau tidak seluruh sistem tidak akan memiliki basis legitimasi.
Mungkin Morsi melakukan beberapa kesalahan fatal, tapi ini tak bisa dipakai sebagai alasan untuk melengserkannya, seperti kata Mohamed Adel Ismail, pekerja sosial di Mesir. “Satu-satunya cara mengganti Morsi adalah beri kesempatan dia untuk memerintah sampai akhir periode dan setelah itu jangan pilih dia di pemilu.”
Pemerintah sementara Mesir -yang banyak diisi pejabat-pejabat di era Mubarak- menjanjikan proses politik yang demokratis dan merangkul semua pihak, namun kenyataannya mereka menahan Morsi dan menutup akses komunikasi Morsi dengan dunia luar. Mereka juga melempar wacana bahwa Morsi telah melakukan tindak pidana. Anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap, ditahan, dan dicap sebagai organisasi teroris. Militer menumpas demonstrasi damai, aksi yang antara lain menewaskan 51 orang dan melukai 400 orang lainnya. Tujuan militer sangat jelas dan tak berbeda dengan modus operandi militer Mesir di era Mubarak: pakai kekuatan untuk mengintimidasi, menumpas dan memprovokasi oposisi agar melakukan kekerasan dan kemudian berkata, “Lihat, benar kan mereka tak ubahnya serigala berbulu domba.”
Situasi di Mesir membuat Ikhwanul Muslimin memiliki padangan bahwa eksistensi mereka sekarang terancam dan ini harus segera dihapus. Caranya adalah AS dan Uni Eropa harus segera menetapkan langkah, di antaranya meminta bertemu Morsi dan mendesak militer membebaskan Morsi dan semua tahanan politik. AS dan Eropa juga harus menyerukan dialog nasional yang mengikutkan partai Ikhwanul Muslimin, Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), wakil militer, dan partai-partai lain di Mesir.
AS dan Eropa harus meminta penyelidikan independen atas pembantaian terhadap para demonstran. Mereka yang bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan. AS dan Eropa juga harus meminta, apa pun proses demokrasi yang dilakukan di masa depan, proses ini harus inklusif. Semua pihak harus mentaati proses dan jadwal pemilu yang nantinya akan diikuti semua partai politik, termasuk FJP.
Agar tujuan-tujuan ini dipatuhi oleh pemerintah dukungan militer, AS dan UE harus memanfaatkan posisi tawar mereka yang sangat besar: membekukan bantuan militer dan menunda mengakui keabsahan pemerintah sementara sampai langkah-langkah di atas diambil. Pada saat yang sama AS dan UE memantai secara dekat perlakukan militer terhadap Morsi, Ikhwanul Muslimin, dan anggota FJP. Washington dan Eropa juga harus mengutuk sekeras-kerasnya aksi brutal terhadap demonstran yang tak bersenjata. Ini akan mengirim pesan yang sangat jelas kepada para penguasa di Dunia Arab.
Gerakan perlawanan di Arab menunjukkan keinginan untuk mendapatkan sistem politik baru yang kebih baik dengan menumbangkan sistem lama yang dijalankan pemerintah otoriter. Ini adalah perjuangan untuk mewujudkan demokrasi baru. Kudeta yang didukung militer jelas merupakan langkah mundur. Pemerintahan pertama di Mesir yang dipilih melalui proses yang demokratis tentu rawan kesalahan karena memang masih ada 'defisit demokrasi' baik pada sistem maupun budaya, buah dari pemerintah otoriter yang berlangsung selama beberapa dekade.
Morsi dan Ikhwanul Muslimin membuat sejumlah kesalahan. Mereka tak punya modal besar untuk mengubah masa transisi menjadi periode yang stabil. Pemerintah yang inklusif-representatif belum bisa diwujudkan di era Morsi. Juga, Morsi gagal menguasai sebagian besar birokrasi pemerintah, termasuk militer, intelijen, sistem yudisial, kementerian dalam negeri dan polisi, yang bisa dikatakan masih pro-Mubarak. Mereka berperan menumbangkan Morsi dan siapapun yang mengancam eksistensi mereka. Komunitas internasional: AS, IMF, dan banyak negara Eropa, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE), tidak terlalu antusias mendukung Morsi mengatasi tantangan-tantangan berat di Mesir, seperti ekonomi yang carut-marut dan tingginya pengangguran. Tapi hanya beberapa hari setelah kudeta Saudi dan UAE langsung menjanjikan bantuan bernilai miliaran dollar.
Pesan yang keluar dari pemerintah Obama -apakah itu disengaja atau tidak- adalah ada standar ganda, pesan yang juga mereka tunjukkan dalam beberapa dekade terakhir. Bahwa aturan permaianan tidak berlaku bagi pemerintahan Islam yang terpilih secara demokratis. AS enggan bahkan tak mau mengakui bahwa apa yang terjadi di Mesir adalah kudeta. Ini sama persis dengan sikap Presiden Bush yang menolak mengakui bahwa penyiksaan terhadap tersangka teroris dan program rendisi adalah pelanggaran terhadap HAM. Sebelum itu Presiden Bush senior mendukung langkah militer merampas kemenangan Front Pembebasan Islam di pemilu Aljazair, yang berujung dengan perang di negara tersebut yang menewaskan 150.000 orang.
Kepentingan jangka panjang Barat di Mesir dan negara-negara lain di kawasan bisa diwujudkan secara maksimal bila ada pemerintah yang terpilih secara sah melalui pemilu, tatanan hukum, dan institusi yang independen.***
*Diterjemahkan oleh admin @PKSInggris dari tulisan asli Living in denial: US policy and Egypt's military coup yang bisa diakses di: http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2013/07/2013715105014165446.html
Label:
INTERNASIONAL