JAKARTA – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat mendorong agar kandidat terpilih hasil pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) mundur dari jabatannya di partai politik.
Pejabat eksekutif yang dimaksud adalah presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.Menteri pun wajib mundur dari jabatannya di parpol. Wacana agar pejabat pemerintahan melepaskan diri dari jabatannya di parpol kembali muncul setelah Rancangan Undang–Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) melarang calon gubernur dan calon wakil gubernur DIY berpolitik.
Aturan ini tertuang dalam Pasal 16 ayat 1 yakni “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DIY adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat bukan sebagai anggota partai politik”.RUUK DIY segera disahkan pada Kamis (30/8) besok. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR Agus Poernomo menyatakan, ketentuan bagi pejabat eksekutif agar melepaskan jabatannya di parpol bisa diinisiasi dalam pasal mengenai syarat pencalonan pada RUU Pilkada dan RUU Pilpres.
“Kandidat perlu membuat surat pernyataan bersedia tidak menjadi pengurus parpol bila terpilih,” kata Agus di Jakarta kemarin. Anggota Komisi II DPR ini juga sependapat bila klausul menteri bebas dari jabatan di parpol dimasukkan dalam revisi UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Menurut dia, hal ini penting supaya semua menteri bisa fokus menjalankan tugasnya di pemerintahan tanpa terbebani tugas- tugas partai.
Wakil Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Achsanul Qosasi menekankan, penyelenggara negara sudah menjadi milik publik, bukan lagi milik partai tertentu yang sulit lepas dari kepentingan politik. “Apalagi kalau menduduki jabatan strategis di partai.Jadi kalau di RUUK DIY jadi anggota partai pun dilarang,untuk jabatan eksekutif lain cukup mundur dari jabatan di partai,” ujarnya.
Dia menyatakan, selain UU Kementerian Negara, UU Pilkada, dan UU Pilpres, aturan ini perlu pula dirumuskan dalam UU Pemerintah Daerah (Pemda). Menurut Achsanul, berbagai fraksi di DPR harus mengakui bahwa pejabat eksekutif yang merangkap jabatan di parpol sangat sulit untuk fokus dan sama-sama maksimal menjalankan tugas di kedua posisi tersebut. Karena itu,sudah saatnya peran partai sebagai pencetak para pemimpin dan negarawan dikembalikan.
Terlebih, merujuk pada RUUK DIY, semua fraksi tak bisa lagi beralasan untuk tidak melarang rangkap jabatan. “Dengan aturan ini, bukan berarti seorang ketua umum parpol dilarang menjadi calon presiden,calon wakil presiden, atau menteri. Kalau terpilih, dia baru harus mundur dari jabatan di parpolnya,” terang Achsanul.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin menilai klausul dalam RUUK DIY tidak bisa menjadi rujukan untuk jabatan eksekutif lainnya. Menurut dia, gubernur dan wakil gubernur DIY identik dengan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang prosesnya melalui penetapan,bukan dipilih langsung oleh rakyat.
“Berbeda dengan presiden dan wapres yang dipilih langsung karena prosesnya elected by people,” ungkapnya. Karena itu, kalaupun ada pejabat terpilih di eksekutif yang mundur dari kepengurusan di parpol, itu sebatas kesediaan yang bersangkutan saja, bukan karena dilarang oleh UU.
Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin mengatakan, idealnya kader parpol sudah menjadi pejabat publik di eksekutif harus bisa fokus pada tugasnya dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Bila mereka masih juga sibuk mengurus parpol, hal itu bisa berdampak buruk bagi penyelenggaraan negara.
“Selama seorang presiden masih jadi ketua dewan pembina atau majelis kehormatan atau ketua umum sebuah parpol, otomatis dia juga terlibat langsung mengurus parpol. Kalau para menteri dan presiden terlibat mengurus parpol, tanpa disadari sesungguhnya di dalam kekuasaan pemerintahan sedang terjadi perang antarparpol dengan memakai jubah menteri dan jubah presiden,” katanya.